Martiman Projohadjojo, S.H.,M.M. dalam Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Politik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.11 menyatakan bahwa : korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga, klik golongan ke dalam dinas di bawah kekuasaan jabatannya.
Pandangan yang disampaikan tersebut, lebih melihat korupsi dari aspek moral. Korupsi terjadi karena telah adanya kerusakan dan pembusukan moral. Moral yang rusak dan busuk tentu mempengaruhi pemikiran, perkataan dan perbuatan seseorang. Orang yang moralnya rusak selalu beranggapan bahwa perbuatan korupsi itu baik.
Bahkan selalu ada damai sejahtera dalam kehidupannya, tidak ada rasa takut, rasa malu dan bahkan sama sekali tidak adanya rasa berdosa kepada Tuhan. Mengapa sikap dan perilaku semacam itu melekat dalam diri seseorang ? Hal ini tidak lain karena mental dan moral korupsi serta kemunafikan telah menjadi budaya dalam hidup dan kehidupannya.
Apabila perbuatan korupsi telah membudaya dalam kehidupan seseorang, maka nilai-nilai iman dan agama yang diserukan oleh para pemimpin agama, sudah tidak mempan lagi merubah sikap dan perilaku hidupnya. Banyak orang bersembunyi dibalik agama, menutupi moralnya yang rusak dan busuk, melalui perbuatan-perbuatan sosial seperti menyumbangkan sebagian kecil hasil korupsinya kepada orang-orang miskin sebagai perbuatan amal.
Sikap dan perilaku semacam ini merupakan bagian dari budaya kemunafikan. Orang yang korupsi adalah orang yang munafik. Walaupun ia telah mengetahui bahwa perbuatannya melanggar hukum dan melanggar hati nuraninya, serta menyengsarakan rakyat, namun selalu memanfaatkan kelemahan undang-undang atau peraturan untuk menggaruk keuntungan bagi kepentingan pribadi, keluarga maupun kroninya.
Hasil korupsinya kemudian dipamerkan dengan penuh kepongahan, baik berupa mobil mewah, rumah mewah dan semua serba mewah. Kondisi ini digunakan hanyalah untuk menaikkan martabat maupun status sosialnya. Untuk mencegah perbuatan korupsi harus dimulai dari diri sendiri.
Pertama menghilangkan budaya kemunafikan dan Kedua membangun budaya malu. Orang harus tahu malu, dengan mengukur kemampuannya sendiri. Ketiga, harus dapat hidup dengan penuh kesehajaan dan kesederhanaan. Jadi sikap dan perilaku harus proporsional. Secara introspektif, dapat bertanya pada diri sendiri : apakah pantas dengan gaji yang diterimanya setiap bulan memperolah kekayaan sebanyak ini ? Kalau tidak pantas, seharusnya belajar malu kepada diri sendiri, terutama kepada Tuhan.
Sejalan dengan itu, Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Dr. Theo Huijbers dalam Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 66 menyatakan bahwa norma moral mengena pada suara hati pribadi manusia. Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
Norma moral mengatur, baik hidup batin mapun hidup lahir. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa norma moral ditentukan oleh hati nurani. Apakah tidak sedih melihat orang-orang yang masih hidup di kolong jembatan, di lampu-lampu merah, di gubuk-gubuk kecil, yang tidur beralaskan koran, dengan telanjang ? Sedangkan para koruptur hidup berfoya-foya dari hotel berbintang yang satu ke hotel berbintang lainya.
Dari selingkuh satu ke selingkuh lain serta tertawa ria di atas penderitaan dan kemiskinan rakyat kecil ?. Korupsi sangat memprihatinkan dan membuat kita menjadi miskin. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya ketika Para Artis Indonesia menggelar acara tentang pemberantasan korupsi di Jakarta menyatakan bahwa salah satu isu yang dibahas ketika APEC di Santiago, Cile pada tanggal 20-21 November 2004 yang dihadiri oleh 21 Negara, adalah isu korupsi.
Ketika mulai pembahasan isu korupsi semua mata tertuju kepadanya. Sehingga Presiden merasa kursi yang didudukinya seperti bola panas. Presiden sangat malu. Setelah itu Ia berceritera kepada pejabat-pejabat Indonesia yang ikut ketika itu. Oleh karena itu, ia berkomitmen untuk memberantas korupsi sesuai dengan janjinya ketika masa kampanye.
Komitmen Presiden SBY tidak akan terwujud apabila Aparat Penegak Hukum tidak dibersihkan terlebih dahulu. Prof. Dr. Ahmad Ali, dalam Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktek Sehari-Hari, Jakarta, 1998, hlm. xiv menyatakan bahwa perilaku Aparat Penegak Hukum mencakup polisi, advokat, jaksa dan hakim dapat mengembalikan kepercayaan warga masyarakat.
Saya menghimbau Para Penegak Hukum dalam menjalankan tugasnya, lebih banyak bertanya pada hati nurani seperti yang saya serukan marilah kita kembalikan hukum kepada akar moralitas dan religius.
Selanjutnya ia mengutip pendapat Prof. Taverne yang menyatakan bahwa berikan saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka undang-undang yang paling buruk pun akan menghasilkan putusan yang adil.
Pandangan tersebut menegaskan bahwa faktor moralitas memegang peran penting dalam berbagai hal, termasuk penegakkan hukum. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari para penegak hukum di Indonesia. Jika tidak, maka hukum sebaik apapun tidak akan mungkin dapat ditegakkan.
Pemerintahan SBY dan Yusuf Kalla, kini diuji keberaniannya. Apakah dalam pemerintahannya mampu memenuhi janji-janjinya di saat kampanye bahwa dalam seratus hari akan membawa para koruptor ke kursi pesakitan ? Untuk mewujudkan janjinya, kejaksaan mulai menggelar kasus tentang korupsi di seluruh tanah air.
Kejaksaan tentu diuji keberaniannya. Apakah gerakan ini sampai ke pengadilan atau tidak. Atau hanya sebatas wacana di kejaksaan. Gerakan awal memang penting tetapi yang terpenting bagaimana hasil akhirnya. Apakah mampu atau tidak menyeret para koruptor ke meja hijau ? Semangat penegakan hukum di Indonesia, biasanya ditentukan oleh tekanan masyarakat melalui media massa, cetak maupun elektronik.
Namun, apabila tidak dikontrol dan atau tidak ditekan semangat penegakan hukum berangsur-angsur akan pudar. Bahkan yang lebih terdengar adalah kolusi di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Jika demikian halnya, berarti kita telah berada dalam budaya kemunafikan. Oleh karena itu, sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999, pasal 41 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi ; Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi ; Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari ; Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuaikan.
Ketentuan tersebut, tentu mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Masyarakat jangan hanya bisa mengkritik atau menyalahkan aparat penegak hukum. Penegakan hukum terhadap para koruptor hanya dapat dilakukan secara maksimal, apabila masyarakat secara aktif berpartisipasi bersama aparat penegak hukum.
Pandangan yang disampaikan tersebut, lebih melihat korupsi dari aspek moral. Korupsi terjadi karena telah adanya kerusakan dan pembusukan moral. Moral yang rusak dan busuk tentu mempengaruhi pemikiran, perkataan dan perbuatan seseorang. Orang yang moralnya rusak selalu beranggapan bahwa perbuatan korupsi itu baik.
Bahkan selalu ada damai sejahtera dalam kehidupannya, tidak ada rasa takut, rasa malu dan bahkan sama sekali tidak adanya rasa berdosa kepada Tuhan. Mengapa sikap dan perilaku semacam itu melekat dalam diri seseorang ? Hal ini tidak lain karena mental dan moral korupsi serta kemunafikan telah menjadi budaya dalam hidup dan kehidupannya.
Apabila perbuatan korupsi telah membudaya dalam kehidupan seseorang, maka nilai-nilai iman dan agama yang diserukan oleh para pemimpin agama, sudah tidak mempan lagi merubah sikap dan perilaku hidupnya. Banyak orang bersembunyi dibalik agama, menutupi moralnya yang rusak dan busuk, melalui perbuatan-perbuatan sosial seperti menyumbangkan sebagian kecil hasil korupsinya kepada orang-orang miskin sebagai perbuatan amal.
Sikap dan perilaku semacam ini merupakan bagian dari budaya kemunafikan. Orang yang korupsi adalah orang yang munafik. Walaupun ia telah mengetahui bahwa perbuatannya melanggar hukum dan melanggar hati nuraninya, serta menyengsarakan rakyat, namun selalu memanfaatkan kelemahan undang-undang atau peraturan untuk menggaruk keuntungan bagi kepentingan pribadi, keluarga maupun kroninya.
Hasil korupsinya kemudian dipamerkan dengan penuh kepongahan, baik berupa mobil mewah, rumah mewah dan semua serba mewah. Kondisi ini digunakan hanyalah untuk menaikkan martabat maupun status sosialnya. Untuk mencegah perbuatan korupsi harus dimulai dari diri sendiri.
Pertama menghilangkan budaya kemunafikan dan Kedua membangun budaya malu. Orang harus tahu malu, dengan mengukur kemampuannya sendiri. Ketiga, harus dapat hidup dengan penuh kesehajaan dan kesederhanaan. Jadi sikap dan perilaku harus proporsional. Secara introspektif, dapat bertanya pada diri sendiri : apakah pantas dengan gaji yang diterimanya setiap bulan memperolah kekayaan sebanyak ini ? Kalau tidak pantas, seharusnya belajar malu kepada diri sendiri, terutama kepada Tuhan.
Sejalan dengan itu, Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Dr. Theo Huijbers dalam Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 66 menyatakan bahwa norma moral mengena pada suara hati pribadi manusia. Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.
Norma moral mengatur, baik hidup batin mapun hidup lahir. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa norma moral ditentukan oleh hati nurani. Apakah tidak sedih melihat orang-orang yang masih hidup di kolong jembatan, di lampu-lampu merah, di gubuk-gubuk kecil, yang tidur beralaskan koran, dengan telanjang ? Sedangkan para koruptur hidup berfoya-foya dari hotel berbintang yang satu ke hotel berbintang lainya.
Dari selingkuh satu ke selingkuh lain serta tertawa ria di atas penderitaan dan kemiskinan rakyat kecil ?. Korupsi sangat memprihatinkan dan membuat kita menjadi miskin. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya ketika Para Artis Indonesia menggelar acara tentang pemberantasan korupsi di Jakarta menyatakan bahwa salah satu isu yang dibahas ketika APEC di Santiago, Cile pada tanggal 20-21 November 2004 yang dihadiri oleh 21 Negara, adalah isu korupsi.
Ketika mulai pembahasan isu korupsi semua mata tertuju kepadanya. Sehingga Presiden merasa kursi yang didudukinya seperti bola panas. Presiden sangat malu. Setelah itu Ia berceritera kepada pejabat-pejabat Indonesia yang ikut ketika itu. Oleh karena itu, ia berkomitmen untuk memberantas korupsi sesuai dengan janjinya ketika masa kampanye.
Komitmen Presiden SBY tidak akan terwujud apabila Aparat Penegak Hukum tidak dibersihkan terlebih dahulu. Prof. Dr. Ahmad Ali, dalam Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktek Sehari-Hari, Jakarta, 1998, hlm. xiv menyatakan bahwa perilaku Aparat Penegak Hukum mencakup polisi, advokat, jaksa dan hakim dapat mengembalikan kepercayaan warga masyarakat.
Saya menghimbau Para Penegak Hukum dalam menjalankan tugasnya, lebih banyak bertanya pada hati nurani seperti yang saya serukan marilah kita kembalikan hukum kepada akar moralitas dan religius.
Selanjutnya ia mengutip pendapat Prof. Taverne yang menyatakan bahwa berikan saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka undang-undang yang paling buruk pun akan menghasilkan putusan yang adil.
Pandangan tersebut menegaskan bahwa faktor moralitas memegang peran penting dalam berbagai hal, termasuk penegakkan hukum. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari para penegak hukum di Indonesia. Jika tidak, maka hukum sebaik apapun tidak akan mungkin dapat ditegakkan.
Pemerintahan SBY dan Yusuf Kalla, kini diuji keberaniannya. Apakah dalam pemerintahannya mampu memenuhi janji-janjinya di saat kampanye bahwa dalam seratus hari akan membawa para koruptor ke kursi pesakitan ? Untuk mewujudkan janjinya, kejaksaan mulai menggelar kasus tentang korupsi di seluruh tanah air.
Kejaksaan tentu diuji keberaniannya. Apakah gerakan ini sampai ke pengadilan atau tidak. Atau hanya sebatas wacana di kejaksaan. Gerakan awal memang penting tetapi yang terpenting bagaimana hasil akhirnya. Apakah mampu atau tidak menyeret para koruptor ke meja hijau ? Semangat penegakan hukum di Indonesia, biasanya ditentukan oleh tekanan masyarakat melalui media massa, cetak maupun elektronik.
Namun, apabila tidak dikontrol dan atau tidak ditekan semangat penegakan hukum berangsur-angsur akan pudar. Bahkan yang lebih terdengar adalah kolusi di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Jika demikian halnya, berarti kita telah berada dalam budaya kemunafikan. Oleh karena itu, sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999, pasal 41 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi ; Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi ; Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari ; Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuaikan.
Ketentuan tersebut, tentu mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Masyarakat jangan hanya bisa mengkritik atau menyalahkan aparat penegak hukum. Penegakan hukum terhadap para koruptor hanya dapat dilakukan secara maksimal, apabila masyarakat secara aktif berpartisipasi bersama aparat penegak hukum.